Rabu, 08 Oktober 2014

Intan Batu Karbon yang Abadi

                                                                                                                         
Intan dikenal sebagai batu abadi yang memancarkan kilau yang menawan, karena tersusun dari beberapa ikatan karbon  (Pudjatmaka, 1999). Intan memiliki sifat yang keras dibandingkan batu karbon yang lain. Di alam Intan hanya sedikit terdapat di belahan bumi yang mana ukurannya juga sangat kecil (Shacer, 2012). Adanya kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu kimia, pembuatan intan dapat direkayasa, yakni dengan menyusun rantai karbon yang serupa dengan rantai karbon alami penyusun batu Intan. Intan merupakan istilah benda yang tersusun dari senyawa karbon tetrahedral yang berbentuk batu. Istilah ini sudah tidak asing di dengar di telinga manusia dalam kehidupan sehari-hari. Batu Intan banyak didambakan dan menjadi idaman banyak generasi baik tua maupun muda khususnya bagi para kaum wanita yang ingin tampil cantik dengan segala aksesoris yang berkilauan. Selain itu, karakteristik intan yang luar biasa keras, mampu merambatkan panas lima kali lebih baik dibanding tembaga, dan memiliki sifat tranparansi seperti halnya sinar-x dan sinar laser (Riawan, 2013). Intan memiliki sifat-sifat yang alami yang membuatnya seolah tak tergantikan dalam penggunaannya secara teknis dalam berbagai aplikasi. Seperti yang telah diketahui pada umumnya, batu Intan yang dihasilkan alam sangatlah langka.
Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam artikel ini banyak diberikan informasi bahwa intan dapat dibuat dengan jalan kimia rekayasa (Riawan, 2013). Warna yang terdapat pada intan dapat dibentuk dipengaruhi oleh berbagai hal. Batu intan dapat di proses menjadi berlian yang cantik dan menawan.        Kehendak alamiah telah mengatur intan yang terbentuk di alam adalah berukuran terbatas. Sebab inilah diantaranya yang membuat orang demikian menginginkan dan amat menghargai intan. Terobosan kemajuan teknologi masa kini memungkinkan membuat intan buatan dengan ukuran yang sesuai dengan keinginan pembuatan serta tak dibatasi batasan kondisi alami (Pudjatmaka, 1999). Hal demikian pada gilirannya memberikan keleluasaan yang tak terhingga bagi seorang perancang hiasan yang kreatif (Shacer, 2012). Dengan aplikasi teknologi tingkat tinggi pada pembuatan intan dapat memungkinkan guna mengkombinasikan cita rasa seni, perancangan, dan keunikan tersendiri. Hal inilah yang perlu diperhatikan. Jangan sampai karena kemajuan teknologi membutakan mata konsumen sehingga tidak dapat membedakan intan asli dan imitasi.
Intan (dalam bahasa Yunani artinya “tak tertaklukkan”) adalah batu mulia satu-satunya yang terbuat dari satu elemen yaitu koolstof atau zat arang yang tulen yang juga terdapat pada makhluk hidup serta berbagai macam batuan yang dibentuk oleh alam dalam kondisi temperatur dan tekanan bumi yang sangat tinggi selama miliaran tahun hingga muncul berlian yang kita kenal saat ini (Pudjatmaka, 1999). Mula-mula nama julukan intan asal Yunani tersebut ditujukan untuk baja yang dianggap sebagai barang yang paling keras. Namun setelah menyadari kekerasan intan melebihi baja maka nama itu diambil ahli oleh intan. Nilai keras intan adalah 10 dalam daftar keras Mohs dan berat jenisnya 3,5 sampai 3,52 (Shacer, 2012). Berlian berasal dari bagian terdalam gunung berapi yang juga mengandung atom dan karbon. Pada kenyataannya berlian merupakan kristal transparan yang mengikat empat bagian karbon atom. Batu berlian terbawa kepermukaan bumi melalui letusan volkanik. Menurut penelitian, naiknya berlian kepermukaan bumi dikarenakan batu yang mencair. Berlian dikembangkan dari bermil-mil bagian dalam permukaan bumi, pada kerendahan 150 km (90 mil), pada tekanan kira-kira 5 giga pascal dengan temperatur sekitarnya 1200 derajat celcius (2200 derajat Fahrenheit) (Riawan, 2013). Berlian bisa menjadi bentuk alami lain sesuai tingginya tekanan, secara relatif pada saat temperatur rendah. Namun sangat disayangkan berlian tidak bisa terbentuk dari bawah laut.

Bibliography

Pudjatmaka, A. (1999). Kimia organik. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Riawan, D. (2013). Kimia ORganik untuk Mahasiswa Kedokteran. Tangerang: Binarupa Aksara Publiser.
Shacer, R. (2012). Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: Penerbit Erlangga.










1 komentar: